Kamis, 14 Januari 2010

Mesjid Agung Natuna


Cerita Cinta

C3R!T4 C!NT4
Dahulu kala, terdapat sebuah pulau yang bernama Pulau Perasaan. Di pulau itu hiduplah Cinta, waktu, Kesombongan dan Kekayaan. Pada suatu ketika, terjadilah berbagai bencana di pulau tersebut. Bencana terparah adalah ketika pulau ini diterjang badai dan hujan yang sangat lebat.

Sehingga mengakibatkan pulau ini digenangi air bah dan hampir tenggelam.Semua panik, Cinta meminta pertolongan kepada semua penghuni lainnya yang sudah menaiki perahunya masing - masing.Pertama, Cinta meminta pertolongan pada Kekayaan. Tapi Cinta tidak bisa menaiki perahunya, dikarenakan perahu tersebut sudah penuh dengan harta. Selanjutnya, Cinta menghampiri Kesombongan berharap dapat tumpangan. Tapi apa yang terjadi? Kesombongan tidak mengizinkan Cinta menaiki perahunya. Karena takut perahunya kotor.

Dan akhirnya Cinta melihat dari kejahuan masih ada satu perahu yang kosong, yaitu perahunya Waktu. Cintapun meminta pertolongan Si Waktu, dan Cinta diperbolehkan naik ke perahunya. Kenapa???
Karena hanya waktu yang bisa mengerti betapa besarnya arti sebuah cinta

Minggu, 10 Januari 2010

Legenda Senoa

CERITA-RAKYAT


Legenda Pulau Senoa
Cerita Rakyat Kepulauan Riau


Alkisah, di sebuah daerah di Natuna, Kepulauan Riau, hiduplah sepasang suami-istri miskin. Sang suami bernama Baitusen, sedangkan istrinya bernama Mai Lamah. Suatu ketika, mereka memutuskan merantau ke Pulau Bunguran untuk mengadu nasib. Mereka memilih Pulau Bunguran karena daerah tersebut terkenal memiliki banyak kekayaan laut, terutama kerang dan siput.

Ketika pertama kali tinggal di Pulau Bunguran, Baitusen bekerja sebagai nelayan sebagaimana umumnya warga yang tinggal di pulau tersebut. Setiap hari, ia pergi ke laut mencari siput-lolak (kerang-kerangan yang kulitnya dapat dibuat perhiasan), kelekuk-kulai (siput mutiara), dan beragam jenis kerang-lokan. Sedangkan istrinya, Mai Lamah, membantu suaminya membuka kulit kerang untuk dibuat perhiasan.

Baitusen dan istrinya pun merasa senang dan betah tinggal di Pulau Bunguran, karena warga pulau tersebut menunjukkan sikap yang ramah dan penuh persaudaraan. Kebetulan rumah mereka bersebelahan dengan rumah Mak Semah, seorang bidan kampung yang miskin, tapi baik hati.

“Jika suatu ketika kalian sakit-mentak (sakit-sakitan), panggil saja Emak! Emak pasti akan datang,” pesan Mak Semah kepada Mai Lamah, tetangga barunya itu.

“Terim kasih, Mak!” ucap Mai Lamah dengan senang hati.

Begitu pula warga Bunguran lainnya, mereka senantiasa bersikap baik terhadap Baitusen dan istrinya, sehingga hanya dalam waktu beberapa bulan tinggal di daerah itu, mereka sudah merasa menjadi penduduk setempat.

“Bang! Sejak berada di kampung ini, Adik tidak pernah merasa sebagai pendatang. Semua penduduk di sini menganggap kita sebagai saudara sendiri,” kata Mai Lamah kepada suaminya.

“Begitulah kalau kita pandai membawa diri di kampung halaman orang,” pungkas Baitusen.

Waktu terus berjalan. Baitusen semakin rajin pergi ke laut mencari kerang dan siput. Ia berangkat ke laut sebelum matahari terbit di ufuk timur dan baru pulang saat matahari mulai terbenam. Daerah pencariannya pun semakin jauh hingga ke daerah pesisir Pulau Bunguran Timur.

Pada suatu hari, Baitusen menemukan sebuah lubuk teripang, di mana terdapat ribuan ekor teripang (sejenis binatang laut) di dalamnya. Sejak menemukan lubuk teripang, ia tidak pernah lagi mencari kerang dan siput. Ia berharap bahwa dengan mencari teripang hidupnya akan menjadi lebih baik, karena harga teripang kering di bandar Singapura dan di pasar Kwan Tong di Negeri Cina sangatlah mahal. Ia pun membawa pulang teripang-teripang untuk dikeringkan lalu dijual ke Negeri Singapura dan Cina.

Akhirnya, hasil penjualan tersebut benar-benar mengubah nasib Baitusen dan istrinya. Mereka telah menjadi nelayan kaya raya. Para tauke dari negeri seberang lautan pun berdatangan ke Pulau Bunguran untuk membeli teripang hasil tangkapan Baitusen dengan menggunakan tongkang-wangkang (kapal besar). Setiap enam bulan sekali segala jenis tongkang-wangkang milik para tauke tersebut berlabuh di pelabuhan Bunguran sebelah timur.

Sejak saat itu, Baitusen terkenal sebagai saudagar teripang. Langganannya pun datang dari berbagai negeri. Tak heran jika dalam kurun waktu dua tahun saja, pesisir timur Pulau Bunguran menjadi Bandar yang sangat ramai. Istri Baitusen pun terkenal dengan panggilan Nyonya May Lam oleh para tauke langganan suaminya itu. Rupanya, gelar tersebut membuat Mai Lamah lupa daratan dan lupa dengan asal-usulnya. Ia lupa kalau dirinya dulu hanyalah istri nelayan pencari siput yang miskin dan hidupnya serba kekurangan.

Sejak menjadi istri seorang saudagar kaya, penampilan sehari-hari Mai Lamah berubah. Kini, ia selalu memakai gincu, bedak, dan wangi-wangian. Bukan hanya penampilannya saja yang berubah, tetapi sikap dan perilakunya pun berubah. Ia berusaha menjauhkan diri dari pergaulan, karena jijik bergaul dengan para tetangganya yang miskin, berbau anyir, pedak-bilis (sejenis pekasam atau ikan asin, makanan khas orang Natuna), dan berbau kelekuk (siput) busuk. Selain itu, ia juga menjadi pelokek (sangat kikir) dan kedekut (pelit).

Pada suatu hari, Mak Semah datang ke rumahnya hendak meminjam beras kepadanya. Namun malang bagi Mak Semah, bukannya beras yang ia peroleh dari Mai Lamah, melainkan cibiran.

“Hai, perempuan miskin! Tak punya kebun sekangkang-kera (bidal untuk menentukan luas tanah ladang/perkebunan), masih saja pinjam terus. Dengan apa kamu akan membayar hutangmu?” Mai Lamah mencemooh Mak Semah.

Mendengar cemoohan itu, Mak Semah hanya terdiam menunduk. Sementara suami Mai Lamah yang juga hadir di tempat itu, berusaha untuk membujuk istrinya.

“Istriku, penuhilah permintaan Mak Semah! Bukankah dia tetangga kita yang baik hati. Dulu dia telah banyak membantu kita.”

“Ah, persetan dengan yang dulu-dulu itu! Dulu itu dulu, sekarang ya sekarang!” seru Mai Lamah dengan ketus.

Begitulah sikap dan perlakuan Mai Lamah kepada setiap warga miskin yang datang ke rumahnya untuk meminta bantuan. Dengan sikapnya itu, para warga pun menjauhinya dan enggan untuk bergaul dengannya.

Suatu ketika, tiba juga masanya Mai Lamah membutuhkan pertolongan tetanggannya. Ia hendak melahirkan, sedangkan Mak Bidan dari pulau seberang belum juga datang. Baitusen telah berkali-kali meminta bantuan Mak Semah dan warga lainnya, namun tak seorang pun yang bersedia menolong. Mereka sakit hati karena sering dicemooh oleh istrinya, Mai Lamah.

“Ah, buat apa menolong Mai Lamah yang kedekut itu! Biar dia tau rasa dan sadar bahwa budi baik dan hidup bertegur sapa itu jauh lebih berharga dari pada harta benda,” cetus Mak Saiyah, seorang istri nelayan, tetangga Mai Lamah.

Baitusen yang tidak tega lagi melihat keadaan istrinya itu segera mengajaknya ke pulau seberang untuk mencari bidan.

“Ayo, kita ke pulau seberang saja, Istriku!” ajak Baitusen sambil memapah istrinya naik ke perahu.

“Bang! Jangan lupa membawa serta peti emas dan perak kita! Bawa semua naik ke perahu!” seru Mai Lamah sambil menahan rasa sakit.

“Baiklah, Istriku!” jawab Baitusen.

Setelah mengantar istrinya naik ke atas perahu, Baitusen kembali ke rumahnya untuk mengambil peti emas dan perak tersebut. Setelah itu, mereka pun berangkat menuju ke pulau seberang. Dengan susah payah, saudagar kaya itu mengayuh perahunya melawan arus gelombang laut. Semakin ke tengah, gelombang laut semakin besar. Percikan air laut pun semakin banyak yang masuk ke dalam perahu mereka. Lama-kelamaan, perahu itu semakin berat muatannya dan akhirnya tenggelam bersama seluruh peti emas dan perak ke dasar laut.

Sementara Baitusen dan istrinya berusaha menyelamatkan diri. Mereka berenang menuju ke pantai Bungurun Timur mengikuti arus gelombang laut. Tubuh Mai Lamah timbul tenggelam di permukaan air laut, karena keberatan oleh kandungannya dan ditambah pula dengan gelang-cincin, kalung lokit (liontin emas), dan subang emas yang melilit di tubuhnya. Untungnya, ia masih bisa berpegang pada tali pinggang suaminya yang terbuat dari kulit kayu terap yang cukup kuat, sehingga bisa selamat sampai di pantai Bunguran Timur bersama suaminya. Namun, malang nasib istrisaudagar kaya yang kedekut itu, bumi Bunguran tidak mau lagimenerimanya. Saat itu, angin pun bertiup kencang disertai hujan deras. Petir menyambar-nyambar disusul suara guntur yang menggelegar. Tak berapa lama kemudian, tubuh Mai Lamah menjelma menjadi batu besar dalam keadaan berbadan dua. Lama-kelamaan batu besar itu berubah menjadi sebuah pulau.

Oleh masyarakat setempat, pulau tersebut dinamakan “Sanua” yang berarti satu tubuh berbadan dua. Sementara emas dan perak yang melilit tubuh Mai Lamah menjelma menjadi burung layang-layang putih atau lebih kenal dengan burung walet. Hingga kini,Pulau Bunguran terkenal sebagai pulau sarang burung layang-layang putih itu.


Asal Mula Nama Cianjur


CERITA-RAKYAT



Asal Mula Nama Cianjur
Cerita Rakyat Provinsi Jawa Barat



Alkisah, di sebuah desa di Jawa Barat, hiduplah seorang petani kaya bersama seorang anak lelakinya yang bernama Tetep. Seluruh sawah dan ladang di desa itu adalah miliknya. Untuk mengerjakan sawah dan ladangnya yang sangat luas itu, ia memburuhkannya kepada penduduk desa. Petani kaya itu memiliki sifat kikir. Saking kikirnya, anak kandungnya sendiri pun tidak pernah dibantunya. Oleh karena itu, penduduk desa menjulukinya Pak Kikir. Beruntunglah sifat kikir itu tidak menular pada si Tetep. Tetep adalah pemuda yang baik hati. Ia sering membantu tetangganya yang kesusahan tanpa sepengetahuan ayahnya.

Menurut kepercayaan masyarakat setempat, untuk memperoleh hasil panen yang melimpah, harus diadakan pesta syukuran setiap selesai panen. Jika tidak, mereka akan gagal pada panen berikutnya Oleh karena takut gagal, Pak Kikir pun terpaksa mengadakan pesta syukuran dengan mengundang seluruh penduduk desa. Para warga pun merasa gembira karena mereka akan menikmati berbagai jenis makanan enak dan lezat. Namun, betapa kecewanya mereka ada saat pesta itu berlangsung. Rupanya, Pak Kikir hanya menghidangkan makanan seadanya, sehingga tidak cukup untuk menjamu seluruh undangan. Banyak di antara undangan yang tidak mendapat bagian. “Huh,sungguh keterlaluan Pak Kikir! Sudah berani mengundang orang, tapi tidak sanggup menyediakan makanan. Untuk apa hartanya yang melimpah itu?” ujar seorang warga dengan nada kecewa.

Suasana di pesta itu pun menjadi gaduh. Para para undangan mempergunjingkan kekikiran Pak Kikir. Bahkan banyak di antara mereka yang menyumpahi agar harta kekayaannya tidak diberkahi oleh Tuhan. Di tengah-tengah kegaduhan itu, tiba-tiba datanglah seorang nenek tua dan menghampiri Pak Kikir. “Tuan, kasihanilah saya! Berilah hamba sesuap nasi! Sudah dua hari hamba belum makan,” rintih nenek itu mengiba.

“Hai, Nenek Tua! Kamu kira memperoleh sesuap nasi itu mudah, hah!” bentak Pak Kikir dengan suara yang sangat keras. Suasana pesta yang semula gaduh, tiba-tiba berubah menjadi hening. Seluruh undangan terdiam dan semua perhatian tertuju kepada si Nenek itu

“Tapi, Tuan! Bukankah Tuan memiliki harta yang sangat melimpah? Berilah hamba sedikit agar hamba dapat makan hari ini!” nenek itu kembali mengiba.

Sungguh malang nasib nenek itu. Bukannya sedekah yang ia terima, melainkan bentakan dan perlakuan kasar.

“Iya, memang hartaku banyak! Tapi, itu semua kudapatkan dari jerih payahku sendiri!” bentak Pak Kikir. “Ayo cepat pergi dari sini! Kalau tidak, akan kusuruh tukang pukulku mengusirmu!”

Dengan hati pilu, nenek yang malang itu segera meninggalkan halaman rumah Pak Kikir. Tak terasa air matanya bercucuran membasahi kedua pipinya yang sudah keriput. Ia berjalan sempoyongan menyusuri jalan desa. Si Tetep yang merasa kasihan melihat si nenek itu secara diam-diam mengambil jatah makan siangnya, lalu mengejar nenek itu yang sudah sampai di ujung desa

“Tunggu, Nek!” teriak si Tetep.

Nenek itu pun berhenti, lalu menoleh ke belakang. Ia melihat seorang anak muda berlari mendekatinya.

“Ada apa, Anak Muda?” tanya nenek itu.

“Saya Tetep, Nek! Saya ingin meminta maaf atas perlakuan Ayah saya tadi! Sebagai obat kecewa, ambillah jatah makan siang saya ini, Nek!” kata si Tetep seraya menyerahkan makanannya kepada nenek itu.

“Terima kasih, Tetep! Engkau anak yang baik hati. Semoga Tuhan akan membalas
kebaikanmu ini dengan kemuliaan,” ujar nenek itu dengan perasaan gembira.

“Sama-sama, Nek!” ucap sit Tetep seraya berpamitan kembali ke rumahnya. Setelah si Tetep pergi, nenek tua itu segera menyantap makanan itu, lalu kembali melanjutkan perjalanan menuju ke sebuah bukit di dekat desa. Setibanya di atas bukit, ia berhenti sejenak untuk melepaskan lelah. Dari atas bukit itu ia dapat melihat rumah Pak Kikir berdiri dengan megah di antara rumah-rumah penduduk desa. Ia turut bersedih melihat penderitaan penduduk akibat keserakahan Pak Kikir.

“Dasar orang tua serakah! Tunggulah pembalasannya, Pak Kikir! Tuhan akan menimpakan hukuman kepadamu. Keserakahan dan kekikiranmu akan menenggelamkanmu!” ucap nenek itu.

Usai berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa, nenek tua itu segera menancapkan tongkatnya ke tanah. Begitu ia mencabut kembali tongkatnya, terpancarlah air yang sangat deras dari lubang tancapan itu. Semakin lama lubang tancapan itu semakin besar, sehingga terjadilah banjirlah besar. Melihat kedatangan banjir itu, para warga yang masih berkumpul di rumah Pak Kikir menjadi panik dan segera berlarian mencari tempat perlindungan untuk menyelamatkan diri.

“Banjir...! Banjir...! Ayo lari...!” teriak para penduduk desa dengan panik.

Melihat kepanikan para warga, si Tetep segera menganjurkan mereka agar berlari menuju ke atas bukit.

“Bagaimana dengan sawah dan ternak kita?” tanya para warga.

“Tidak usah memikirkan harta kalian! Yang penting selamatkan dulu nyawa kalian!” ujar si Tetep yang bijak itu.

Akhirnya, warga pun berlarian menuju ke atas bukit. Sementara itu, Pak Kikir masuk dalam rumahnya hendak menyelamatkan harta bendanya.

“Ayah, ayo cepat keluarlah dari rumah! Banjir itu sudah semakin dekat! Kita harus segera menyelamatkan diri!” seru si Tetep.

Pak Kikir tidak menghiraukan seruan anaknya. Ia terus berusaha mengambil peti hartanya yang disimpan di dalam tanah. Beberapa kali si Tetep berteriak, namun ayahnya belum juga keluar dari rumah. Akhirnya ia segera berlari menuju ke bukit untuk menyelamatkan diri. Sementara itu, Pak Kikir yang masih sibuk mengumpulkan hartanya, tidak dapat lagi menyelamatkan diri. Banjir besar itu telah menenggalamkannya.

Si Tetep bersama warga lainnya yang berlari naik ke atas bukit akhirnya selamat. Namun mereka sangat sedih, karena seluruh desa mereka sudah terendam banjir. Rumah, ternak, dan seluruh harta benda mereka hanyut terbawa arus banjir. Akhirnya, si Tetep menganjurkan penduduk untuk mencari daerah lain yang lebih aman. Setelah mendapat tempat yang cocok, mereka pun membuat pemukiman dan mengangkat si Tetep menjadi kepala desa.

Tetep seorang pemimpin yang adil dan bijaksana. Setelah membagi tanah secara rata, ia pun menganjurkan warganya untuk mengolah tanah tersebut. Ia mengajari mereka cara menanam padi dan mengairi sawah dengan baik. Berkat anjuran si Tetep, mereka hidup aman dan sejahtera. Mereka pun senantiasa patuh terhadap anjuran pemimpinnya. Desa itu kemudian mereka namai Desa Anjuran. Lama kelamaan, desa itu berkembang menjadi kota kecil yang disebut Cianjur.


SUMBER : CERITA RAKYAT NUSANTARA

MAKE SOME QUESTIONS BY 4W1H



SOFTSKILL


MAKE SOME QUESTIONS BY 4W1H
  1. What is this?
  2. What is your name?
  3. What kind of book do you like?
  4. What time is it?
  5. What is your IP address?
  6. What should I do if I get sick?
  7. What is your favorite film?
  8. What is Public Accountant Firm?
  9. Why the earth is round?
  10. Why do you love me?
  11. Why won’t God stop the war in Palestine?
  12. Why we need a friend?
  13. Why leaves change color in the autumn?
  14. Why we must study hard every day?
  15. Where is the love?
  16. Where do you live?
  17. When did you born?
  18. Where are you?
  19. Where is Gunadarma University located?
  20. Where do earthquakes happened?
  21. Where are the biggest mosque located?
  22. Who is that man?
  23. Who are you?
  24. Who is the owner of Gunadarma University?
  25. How to be an English Master?

MAKE SOME QUESTIONS BY 4W1H



SOFTSKILL


MAKE SOME QUESTIONS BY 4W1H
  1. What is this?
  2. What is your name?
  3. What kind of book do you like?
  4. What time is it?
  5. What is your IP address?
  6. What should I do if I get sick?
  7. What is your favorite film?
  8. What is Public Accountant Firm?
  9. Why the earth is round?
  10. Why do you love me?
  11. Why won’t God stop the war in Palestine?
  12. Why we need a friend?
  13. Why leaves change color in the autumn?
  14. Why we must study hard every day?
  15. Where is the love?
  16. Where do you live?
  17. When did you born?
  18. Where are you?
  19. Where is Gunadarma University located?
  20. Where do earthquakes happened?
  21. Where are the biggest mosque located?
  22. Who is that man?
  23. Who are you?
  24. Who is the owner of Gunadarma University?
  25. How to be an English Master?